Pilkada di Masa Pandemi, Waspada Ancaman Politik Uang
|
jombang.bawaslu.go.id - Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Arif Nur Alam dari Indonesia Budget Centre (IBC) memaparkan tema Pilkada 2020 dalam Cengkraman Covid-19 “Ancaman Virus Money Politic”. Ia mengatakan, Pilkada dan Pandemi Covid -19 menyebabkan lahirnya beberapa kebijakan baik Kepres maupun Peraturan Pemerintah.
“Pandemi Covid-19 memberikan dampak lahirnya Kepres Nomor 9 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid- 19, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid- 19 dan Perpu Nomor 2 Tahun 2020 terkait Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang rencana akan diselenggaran pada Desember 2020” katanya.
Pada Pilkada atau pemilu, terlepas ada permasalahan teknis melingkupinya, terdapat masalah-masalah utama dalam Pilkada atau Pemilu ada 3 poin penting yakni politik uang, politik dinasti dan politik identitas.
“Dalam KBBI, money politic adalah suap atau uang sogok. Politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalakan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat Pemilu” jelas Arif.
Masih menurut Arif, bahwa dalam politik uang terdapat 5 dimensi yakni pembelian calon (candidacy buying), pembelian suara (vote buying), politisasi kebijakan anggaran, politisasi birokrasi dan politisasi penyelenggara Pemilu.
“Dalam diskusi ini, saya fokus pada dimensi politisasi kebijakan anggaran. Kendati akan bersinggungan dengan dimensi-dimensi yang lainnya seperti politisasi birokrasi dan pembelian suara” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan relevansi politik anggaran dalam Demokrasi Pemilu. Bahwa dalam pengusungan calon, diluar calon perseorangan dimana calon diusung oleh Partai politik atau gabungan Partai Politik. Kepala daerah memiliki otoritas dana kewenangan untuk merencanakan dan menetapkan APBD. Menurutnya, Calon kepala daerah petahana yang berangkat dari koalisi partai politik memiliki potensi untuk melakukan politisasi anggaran.
“Ada potensi calon yang berasal dari petahana untuk melakukan politisasi anggaran yang bertujuan untuk pemberian dana ke partai atau menyiapkan dana kampanye pertarungan Pilkada 2020” jelasnya.
Potensi penggunaan uang dalam Pilkada yang dimaksud oleh Arif berasal dari pendapatan, belanja sebelum dan sesudah Pilkada.
“Ada dana kampanye yang harus dilaporkan oleh setiap calon. Dana ini bisa berasal dari dana pribadi dan dana publik. Belanja sebelum Pilkada ini bisa digunakan untuk membeli suara dan belanja pasca Pilkada ini akan adanya praktek suap” terangnya.
Berdasarkan data Indonesia Budget Center (IBC), Arif menemukan bahwa dana hibah dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) digunakan untuk politik uang.
“Pada catatan IBC meskipun pada masa pandemi ataupun kekinian, politik uang pada dana hibah dan bantuan sosial di APBD, mereka yang dapat hibah itu karena memiliki relasi politik, kerabat dari calon dan ada juga yang penerima fiktif” tambahnya.
Arif menambahkan, dalam situasi pandemic seperti ini ancaman politik uang berpotensi dari program jaringan pengaman sosial seperti APBD, APBDes, dan lainnya.
“Skemanya bansos untuk covid-19 berbentuk uang tunai yang masuk ke kelompok masyarakat miskin. Distribusinya juga dilakukan sejak April sampai Desember. Ini sarat dengan ancaman wabah politik uang” tambahnya.
Di akhir sesi, Arif berharap bahwa perlunya konsolidasi jejaring dan stakeholder untuk mencegah politik uang di masa pandemi. Di samping itu, menguatkan pengawasan deliberatif yang memungkinkan keterlibatan banyak pihak dalam pengawasan strategis demi mencegah politik uang. (red/yis)
Tag
Berita
Publikasi