Kisah “Santri Mbetik” Yang Sekarang Menjadi Pengawal Demokrasi
|
jombang.bawaslu.go.id - Jombang, Belakangan ini fenomena podcast menjadi hal yang digandrungi oleh banyak orang. Tidak hanya oleh kalangan individu maupun deretan publik figur atau artis, namun di dalam lembaga dan organisasi juga mulai banyak bermunculan. Fenomena ini pun diikuti oleh lembaga Bawaslu Kabupaten Jombang.
Kali ini, podcast Bawaslu Kabupaten Jombang yang dipandu oleh host staf Divisi Hukum Sare Bambang Sulaiman atau sapaan akrabnya Bembeng dengan tema “Mengenal Lebih Dekat Dengan Bawaslu” menghadirkan narasumber dari Bawaslu Provinsi Jawa Timur yang sekaligus kemarin melakukan kunjungan kerja ke Kantor Bawaslu Kabupaten Jombang. Ia pernah menjadi “santri mbetik” yang didoakan sang kiai. Kini, ia mendapat amanah menjaga marwah demokrasi di Jawa Timur menjadi Koordinator Pengawasan Bawaslu Provinsi Jawa Timur yang mempunyai nama Aang Kunaifi. (21/04/2021).
Di salah satu ruang kantor Bawaslu Kabupaten Jombang, Bembeng ingin memperdalam seberapa “mbetiknya” Koordinator Pengawasan Bawaslu Provinsi Jawa Timur ini. Bembeng memberikan pertanyaan kepada Aang Kunaifi dengan suasana santai dan saling berhadapan pertanyaan dijawab oleh Aang Kunaifi.
“Saya lahir di wilayah Kenjeran pesisir timur Kota Surabaya. Saat itu disana sangat kental dengan kegiatan mengaji di langgar istilahnya mushola pada umumnya, sehingga saya waktu itu terbiasa hidup bergerombol dengan kawan-kawan yang tidak pernah tidur di rumah tidurnya di mushola tersebut. Yang pada akhirnya kejailan-kejailan terbawa ketika saya diharuskan mengenyam pendidikan Tsanawiyah. Di pesantren, terbawa kejailan-kejailan itu dengan kawan kawan baru di lingkungan pesantren, sehingga mungkin lumrahnya anak seusia demikian melakukan aktivitas-aktivitas jail untuk bagian dari menghilangkan kejenuhan. Era dulu itu nyantri mungkin agak berbeda dengan sekarang. Dulu terbiasa dicambuk sama kabel dan hanger, pakaian dan lain sebagainya kalo sekarang kan liatnya sudah mulai agak minim sehingga untuk mengurai kejenuhan dan kerinduan dengan orang rumah dan lain sebagainya maka kejailan-kejailan itulah yang kami aplikasikan mungkin secara tidak langsung memberikan saya khususnya mendapat atensi khusus dari kiai dan kakak-kakak kelas untuk dididik lebih tertib lagi” ceritanya.
Selanjutnya, Bembeng menanyakan bagaimana cerita sang kiai mendoakan “santri mbethik” tersebut.
“Pertama kejadian itu memang secara khusus diakhir saya kelas 3 Tsanawiyah. Memang mulai dari kelas 1 sampai kelas 3 itu, kita rutin bermain bola setiap sore sedangkan kebijakan Pesantren waktu itu tidak diperkenankan permainan sepak bola di lingkungan Pesantren. Hingga setelah sholat Ashar, kami terbiasa sembunyi-sembunyi main kebetulan area pesantren saya belakangnya adalah jalan Tol Surabaya-Gresik yang turun ke Manyar-Gresik itu. Sehingga ketika melakukan aktivitas bola, waktu itukan banyak peserta pemainnya sehingga peraturan permainan bolanya itu kalah ganti, jadi satu tim itu sekitar 5 orang karena lapangannya juga tidak terlalu luas” jelasnya.
Nah, ketika menunggu disela-sela siapa yang ke gol.an lebih dahulu, Aang sering kali duduk di tepian jalan tol. Ia sering melempari mobil yang melintas dengan ranting-ranting pohon. Kebetulan waktu itu ada mobil yang ia lempar dan berhenti mendadak. Kemudian ia lari balik ke kerumunan teman-teman yang main bola itu dan tidak disangka yang turun itu seorang kiai. “Kiai pun lantas bertanya siapa yang melempari mobilnya” tanya sang kiai tersebut. Biasanya kawan-kawan selalu melindungi, namun kali ini para santri tidak ada yang berbohong pada sang kiai, jadi Aang pun akhirnya mengaku.
“Awalnya saya takut akan dimarahi atau dihukum. Namun, ternyata tidak dimarahi dan cukup dipegang kepala saya dan didoakan Insya Allah menjadi orang baik hanya waktu memakai bahasa Jawa dan barokallah sekarang menjadi pengawal demokrasi” jelasnya. (red/yis)
Tag
Berita
Publikasi