Dewi : Empat Tantangan Wujudkan Pilkada Tanpa Politisasi SARA dan Ujaran Kebencian
|
jombang.bawaslu.go.id - Jombang, Empat tantangan Bawaslu dalam mewujudkan pilkada tanpa politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dan ujaran kebencian. Pertama kata Dewi, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada hanya dapat menjangkau praktik politisasi SARA dan ujaran kebencian pada saat kampanye saja. Menurut Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo, politisasi sara dan ujaran kebencian bisa terjadi diluar di masa kampanye seperti saat minggu tenang, tahapan pemungutan suara, tahapan rekapitulasi. Lantaran aturan dalam UU Pilkada, perbuatan tersebut menjadi sulit ditindaklanjuti penegakan hukumnya.
"Jadi pembatasan tahapan pengaturan tentang politisasi SARA ini menjadi masalah kita di dalam mewujudkan pilkada tanpa politisasi SARA," katanya saat menjadi narasumber diskusi daring dengan tema 'Pilkada Tanpa Ujara Kebencian dan Isu Agama Lebih Oke', Kamis (13/08).
Tantangan kedua, kata Wanita lulusan magister hukum Universitas Hasanudin, Makassar itu yakni terdapat perbedaan persepsi antar stakeholders dalam membedakan konten ujaran kebencian dan hoaks. Hal ini mengakibatkan dalam menerjemahkan makna ujaran kebencian Bawaslu harus meminta pendapat ahli.
"(Bawaslu) dalam penanganan pelanggaran harus memakai atau meminta pendapat ahli dalam menerjemahkan apa yang dimaksud dengan ujaran kebencian dan hoaks," sebutnya.
Tantangan ketiga, proses pembuktian yang panjang dalam menangani dugaan tindak pidana ujaran kebencian atau politisasi sara. Dia mengakui tidak mudah membuktikan dalam melakukan penanganan pelanggaran tindak pidana pemilihan terlebih tidak ada perubahan peraturan dalam UU Pilkada. Aturan batas waktu penanganannya dinilai sangat singkat yakni 3+2 hari kalender kerja.
"Itu menjadi tantangan tersendiri bagi Bawaslu. Pemilu 2019 kemarin (saja) kami hanya bisa membuktikan yang sampai kepada keputusan pengadilan inkrah (berkekuatan hukum tetap) hanya empat kasus dari beberapa temuan atau laporan yang diproses, karena memang proses pembuktian yang butuh waktu yang panjang ini tidak mudah bagi kami dengan batasan waktu 7 + 7," papar Dewi.
Keempat, masih diperlukan sistem penegakan hukum yang komprehensif meliputi subtansi yang berkaitan dengan pengaturan yang ada dalam UU, struktur berkaitan dengan penegakan hukumnya. Hal ini penting karena berkaitan dengan tindak pidana pemilihan tergabung dalam Sentra Gakkumdu, dan budaya hukum terhadap penindakan praktik ujaran kebencian dan politisasi sara saat pelaksanaan pilkada.
"Kami (Bawaslu) cukup banyak harapan dalam Pilkada 2020, karena saat penantatanganan peraturan bersama (Sentra Gakkumdu) antara Bawaslu dan Kejaksaan dan Kepolisian dihadiri langsung oleh Pak Kapolri dan Jaksa Agung," tuturnya. (red/yis)
Tag
Berita
Publikasi