Ahsanul Minan : Netralitas Birokrasi Dalam Pilkada
|
jombang.bawaslu.go.id - Tadarus Pengawasan Pemilu Bawaslu RI edisi ke-15 kali ini narasumber dari Universitas Nadhlatul Ulama Indonesia Ahsanul Minan dengan tema Mengawasi Netralitas Birokrasi dalam Pilkada, Senin (11/5/2020). Pada kesempatan kali ini, ia mengajak berdiskusi tentang netralitas ASN dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah maupun Pemilu dimana pada era demokrasi ini peraturan Pemilu dan Pemilihan sudah mengatur secara detail terhadap praktik politisasi birokrasi dan pelanggaran-pelangaran lain seperti netralitas ASN.
“Ini sangat penting kita bahas, karena ketentuan dalam Undang-undang Pemilu maupun Pemilihan Kepala Daerah mengatur keharusan ASN bersikap netral dan terhadap pelanggaran atas ketentuan tersebut terdapat ancaman hukuman baik administrasi maupun pidana” kata Ahsanul yang juga menjadi Dosen Ilmu Hukum di UNUSIA.
“Seperti dalam UU tentang Pilkada Pasal 69, 70 dan 71 ada beberapa larangan untuk menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah, larangan ikut berkampanye, larangan menggunakan program dan kegiatan 6 bulan sebelum jabatan berakhir bagi petahana serta larangan menggunakan dana kampanye yang berasal dari anggaran pemerintah” tambahnya.
Masih kata Ahsanul Minan bahwa di luar aturan Pilkada juga ada aturan lain terkait netralitas ASN yakni UU 5 tahun 2014 tentang aparatur sipil negara, PP nomor 53 tahun 2010 tentang disipilin PNS yang mengatur larangan bagi PNS untuk memberikan dukungan kepada calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta SE Menpan RB tahun 2015 yang melarang ASN menjadi calon dan memberikan dukungan kepada calon kepala daerah.
Ia juga mengatakan bahwasanya politisasi merupakan fenomena yang mulai banyak muncul ketika kepala Eksekutif didalam pemerintahan itu dipilih secara demokratif.
“Praktik Politisasi birokrasi telah muncul dan berkembang sejak lama, bahkan hal tersebut dindikasi terjadi semenjak diterapkannya sistem demokrasi dalam pemilihan kepala pemerintahan. Sebelum masa itu, Disi lain pada masa pemerintahan monarki praktik serupa juga telah ada, namun bentuknya masih sebatas praktek korupsi dan nepotisme dalam penentuan kinerja dari birokrasi” ungkapnya.
Menurut Dosen Ilmu Hukum UNUSIA ini, modus politisasi birokrasi dan abuse of power dalam pemilu di Indonesia yaitu penyalahgunaan sumber daya negara dalam Pemilu yang umumnya dilakukan oleh Calon incumbent calon dari unsur birokrat atau calon dari partai pemenang Pemilu di daerah setempat. Modus-modus tersebut bertujuan untuk menggalang dukungan pemilih secara melanggar hukum dan mengumpulkan dana kampanye secara illegal.
“Penyalahgunaan Sumber Daya Negara dalam pemilu jika berbentuk anggaran (Bansos, SILPA, APBD dan APBD Perubahan dengan cara meningkatkan alokasi dana bansos.dan penyalurannya kepada kroni dan konstituan. Kalau modus mobilisasi ASN dengan menyuruh mendukung calon dan mengintimidasi ASN yang tidak mendukung calon tertentu serta modus penyalahgunaan fasilitas negara dan wewenang berbentuk penyalahgunaan fasilitas kabtor dan wewenang mengluarkan izin pengelolaan SDA dan mutasi”
Selain itu menurutnya terdapat 2 pendekatan untuk mengawasi netralitas ASN yang pertama yakni dengan melihatnya dari anggaran dan aspek politisiasi birokrasi diluar angggaran yakni terkait kewenangan.
“Terkait anggaran bisa dilihat dari APBD 1 tahun atau 2 tahun sebelum Pilkada untuk melihat perubahan dan penambahan jumlah alokasi anggaran yang memiliki irisan dengan permainan politik, semisal bantuan sosial dana hibah dll. Yang kedua kita bisa melihat pada mobilisasi ASN atau massa untuk mendukung calon yang dilakukan oleh aparatur pemerintah salah satunya melihatnya melalui media” jelasnya.
Pada sesi akhir, Ahsanul Minan berharap kepada siapa saja bilamana mengetahui terdapat dugaan pelanggaran Politisasi Birokrasi dan Abuse of Power dalam Pilkada atau Pemilu bisa melaporkan ke Bawaslu setempat. (red/yis)
Tag
Berita
Publikasi