Agus Muhammad : Politisasi SARA Sebabkan Pembelahan Sosial Pada Masyarakat
|
jombang.bawaslu.go.id - Wabah corona pada saat Ramadhan tahun ini memberikan nuansa tersendiri. Dan ini memberikan makna tersendiri yang mungkin akan sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun demikian, meskipun wabah corona sedemikian rupa menghantam bangsa dan memberikan cobaan bangsa tetapi ada persoalan lain yang menurut saya tidak boleh diabaikan dan menurut saya lebih besar dari masalah corona yaitu masalah pengawasan pemilu. Sebagaimana yang dituturkan oleh Agus Muhammad dari Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) dalam Tadarus Pengawasan Pemilu (TPP) Bawaslu RI edisi ke-17, Rabu (13/5/2020).
Ia menyatakan bahwa pada saat pandemi wabah corona seperti ini pengawasan Pilkada harus lebih di tingkatkan, karena dalam situasi sempit sekalipun ada banyak pihak yang mengambil kesempatan untuk kepentingan politik tertentu. Menurutnya, pengawasan tetap harus dilakukan dalam situasi normal maupun tidak normal. Ini menjadi salah satu yang penting dilakukan pengawasan dalam Pilkada 2020 baik entah ditunda atau tidak terlepas dari itu adalah soal pengawasan politisasi SARA terutama mengenai pengawasan politisasi sara menjadi isu yang sismentik, dan tidak banyak orang yang menyadari bahwa politisasi sara ini adalah sesuatu yang membahayakan, padahal pada pemilihan sebelumnya dibeberapa daerah hal ini telah terbukti menjadi penyebab pembelahan sosial di masyarakat.
“Saya pernah ada di suatu forum yang diselenggarakan oleh Bawaslu, bahwa ada sejumlah atau beberapa orang bahkan sangat tidak setuju dengan istilah politisasi SARA. Saya menangkap dibalik ketidak setujuan dengan istilah Politisasi SARA, ada keengganan untuk mengakui tentang penitngnya memisahkan agama dari politik. Saya cenderung mengatakan bahwa menggunakan isu sara dalam politik itu bukan sesuatu yang menarik, bahkan itu pembodohan terhadap publik karena kalau orang hanya dicekoki isu-isu sara maka yang terjadi adalah orang kemudian teralihkan pada problem-problem real yang ada di masyarakat” jelasnya.
Masih menurut Agus, ia memaknai politisasi sara itu sebagai upaya untuk memanfaatkan atau meeksplosasi sentimen-sentimen kesukuan, ras, agama untuk menaikkan kelompoknya, akan tetapi politisasi sara yang secara haluspun sebaiknya tidak dijalankan. Istilah putra daerah itu salah satu bentuk politisasi sara sangat halus, tentu saja ini tidak negatif, tetapi menurutnya ketika mengajukan putra daerah harusnya betul-betul putra terbaik bukan karena faktor lain.
“Kalau putra daerah setidaknya ingin memimpin daerah pastikan 3 hal terpenuhi, yakni mempunyai kemampuan untuk meyakinkan semua kalangan bahwa dia layak untuk menjadi pemimpin, kapasitas atau sumber daya dalam mengatasi masalah di daerah, dan integritas sebagai jaminan pekerjaannya untuk kepentingan orang banyak” tambahnya. (red/yis)
Tag
Berita
Publikasi